Ngopi Budaya Di Kemiren
Seminggu di Banyuwangi kayaknya sayang banget kalo aku cuma
cerita one of any enjoyable part
selama aku di kota tertimur Pulau Jawa ini.
Jum’at, 26 Januari 2018, aku di ajak
jalan-jalan sama Mbak Mput ke Kemiren. Udah tau Kemiren belum? Awalnya aku juga
gak tau sih, tapi akhirnya tau juga. Wkwk.. Kemiren itu adalah salah satu desa
di Banyuwangi yang dikenal sebagai desa wisata budaya suku Osing, suku asli
Banyuwangi. Letaknya ada di wilayah Glagah dekat dengan KWA Gunung Ijen. Kebetulan waktu itu sedang ada acara festival jajanan Osing.
Acaranya pas pagi, jadi aku sama
Mbak Mput ke sananya berangkat pagi dengan motor matic andalan Mbak Mput.
Nyampe di sana ya tentu saja acara udah rame, secara ini kan acara makan-makan,
apalagi pagi-pagi gitu orang lagi buas-buasnya buat nyari makan. Selain buat
nyari jajanan khas Banyuwangi yang murah, orang-orang juga pasti tertarik
dengan kekentalan budaya yang disuguhkan.
Acaranya bagus sih, udah di-design secara epik dengan baju-baju adat
yang mereka gunakan, kebaya hitam dan kain sampir (Baca: jarik, dalam bahasa
Jawa) untuk bawahannya. Untuk laki-lakinya memakai baju atasan hitam dan
bawahan celana hitam ditambah dengan ikat kepala (Baca: udeng) khas mereka. Terus
sepanjang jalan juga udah dikasih hiasan sederhana dari janur yang dibuat melengkung.
Iya, kayak janur khas nikahan gitu, nikahan mantan. Aw.. sakit. Terus asiknya
juga di sini ada pertunjukan musik Banyuwangi kecil-kecilan yang mengiringi
hiruk pikuk sepanjang jalan yang sudah berjajar stand-stand makanan di situ.
Serba sederhana sih, tapi cukup asik.
Penjual jajanannya rata-rata
adalah ibu-ibu yang udah masuk masa menopause.
Ups.. Ada yang sambil nyemil sirih pinang juga. Tiap stand jajanannya beda-beda
dan murah-murah. Mulai dari pisang goreng ala Banyuwangi jamu tradisional khas
Banyuwangi. Ya sama aja sih kayak makanan kebanyakan, tapi ini yang khas suku
Osing getohh. Masih normal sih, kayak makanan pada umumnya. Aku kirain kan ada
jajanan kayak manisan jangkrik, rujak kodok, pepes ulat, atau teh bekicot yang
diambil dari sari-sari lendirnya. Hm.. kayak apa ya rasanya. Penasaran? You can try at home. Pasti kalo
makanannya diganti jadi makanan beginian, yang dateng bukan cuma manusia, ya.
Jin, setan, iblis, dan saudara-sadaranya juga pasti dateng. Haha..
Alat pembayarannya sebenernya
juga udah di-setting menggunakan koin
khusus yang udah disedikan panitia, tapi mungkin karena pengunjungnya udah pada
gak sabar buat makan, jadi penukaran uang menjadi terabaikan. Penjualnya juga
gak masalah mau pake koin atau uang rupiah asli yang penting jualan mereka ludes
dengan kotak uang jadi penuh.
Desa Kemiren ini emang udah
menjadi salah satu ikon wisata andalan Banyuwangi untuk memperkenalkan
kebudayaan suku asli mereka, suku Osing. Tapi sayang banget, waktu aku ke sana
aku cuma bisa melihat kebudayaan suku Osing sebatas dari jajanan-jajanan khas
mereka. Untuk desa wisata semacam ini, biasanya mereka telah mengagendakan waktu-waktu
tertentu untuk mempertunjukkan budaya-budaya mereka yang lain, seperti tari-tarian,
musik-musik khas mereka yang pake lesung penumbuk padi kayak yang gue liat di
TV, terus ada fashion show cogan-cogan
kayak artis Korea dan bisa kita bawa pulang sebagai souvenir dari Banyuwangi yang bisa gue kenalin ke Emak-Bapak. Dan fix, yang terakhir itu cuma IMAJINASI.
Waktu festival jajanan itu, yang aku
lihat dari Desa Kemiren selain jajanannya adalah suguhan rumah-rumah mereka
yang masih tradisional banget. Mungkin itu rumah adat orang Osing, ya. Rumahnya
sih sama kayak rumah pada umumnya. Tapi terlihat sangat sederhana dan masih
terkesan tradisional. Masih terbuat dari kayu dan jarak antara atap dan lantai
tidak terlalu tinggi. Jadi kelihatan mungil.
Saat ini budaya emang udah jadi
barang mahal di negeri kita tercinta ini. Orang-orang udah
mulai sadar bahwa suatu budaya kalo sekalinya hilang udah gak bisa kita cari
kemanapun. Para petuah yang sudah pergi mendahului kita sudah mewariskan itu. Budaya itu menjadi semacam kenang-kenangan buat kita untuk memberikan ciri khas pada bangsa kita
yang beragam. Yang perlu kita lakukan hanya menjaganya, just it. Iya nggak, sih? Terus apa susahnya? Hayooo...
Oke kembali ke laptop.
Sedangkan aku jalan-jalan, melihat-lihat keramaian di festival ini, Mbak Mput udah ngopi-ngopi cantik aja
sama temen-temennya. Dia ketemu banyak kenalannya di Kemiren. Langsung deh dia
disuguhi kopi pagi khas Kemiren. Ngopi-ngopi santai di tengah keramaian orang
yang lalu-lalang menikmati festival jajanan ini.
Habis puas melihat-lihat, aku
gabung sama Mbak Mput and the gang.
Kenalan. Berbagi cerita. Seru-seruan, saling ledek, dan tertawa. Haha..
kebanyakan sih mereka anak pecinta alam yang identik dengan rambut gondrong,
dekil, celana belel, flanel lusuh, dan pemuja kerang ajaib. Ya enggaklah. Mereka merupakan penggiat sosial dan budaya di daerahnya. Asik sih. Berbagi
cerita dan pengalaman.
Uyeah.. |
Pergi ke tempat baru emang selalu
mendatangkan euphoria tertentu. Penasaran dan exited. Apalagi dateng ke tempat wisata kayak gini. Itu akan
menambah kegairahan pastinya. Tapi jangan lupa, destinasi wisata yang kita datangi
is not the only thing. Kadang ada
yang lebih berarti dari itu, yaitu menciptakan pertemanan yang bisa kita jalin
dengan orang-orang baru yang kita temui di tempat baru. Menurutku itu lebih
berarti dari tempat wisatanya sendiri. Kita bisa menyerap cerita dari orang
baru yang kita temui yang akan menambah pengetahuan dan pengalaman kita. Jadi, don’t forget to make a ralationship in
everyplace you've ever visited.
Oke sekian dulu ya..
Ciluk daah..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus